Sering kaki saya menyerempet bebatuan kecil. Beberapa kali terpeleset sampai saya harus mencakar rumput atau akar pohon agar tetap bertahan seimbang. Kami sementara mendaki gunung menuju  salah satu area perburuan di arah utara Desa Binuang. Bapak Kapitan dengan gesit telah meninggalkan saya beberapa meter di depan. Dengan payah saya tetap berusaha menyusulnya. Letih, memang, tetapi saya enggan mengeluh. Ini demi mempertahankan gengsi sebagai laki-laki Timor yang tidak mau kalah dengan orang Dayak. Sebentar lagi malam, tentu saya akan lebih kesulitan melanjutkan perjalanan karena sebuah ketidakcermatan yang telah saya lakukan sebelumnya. 

Tadi, di sekolah, Bapak Kapitan mengajak saya menikmati akhir pekan di hutan Paye Melau. Kami akan berburu hewan hutan. Bayangan seekor babi atau kijang  yang tergeletak berhias luka tembak di tubuhnya mengisi imajinasi. Bagaimana saya akan berlari mendekati binatang yang telah tak bernyawa, menyentuhnya dengan bebas. Mungkin kami akan langsung menyembelihnya di tempat itu, atau membawanya ke suatu tempat yang lebih luas. Kami akan menyalakan api, membakar daging segar. Aih, liurku hampir tumpah oleh ilusi ciptaan signal otak

Sepulang sekolah, setelah makan, saya bergegas ke rumah Bapak Kapitan. Beliau telah menyiapkan perlengkapan berburu untuk saya. Sebuah bekang[1], dua botol minum masing-masing berisi air putih dan kopi, parang, tembakau, hammock[2], dan senter. Bekang Bapak Kapitan lebih besar. Di dalamnya ada sekantung beras, gula, kopi, termos, garam, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya saat kami berada di hutan nanti. Mama Jamila telah mempersiapkan makan siang. Dengan tersenyum saya menikmati jatah makan siang kali kedua bersama Bapak Kapitan. Setelah mengisi perut dan menyedot satu batang rokok, kami bersiap untuk berangkat. Pada saat itulah saya lupa membawa senter yang telah dipersiapkan untuk saya.

***

Meski payah, saya terus mengimbangi langkah kaki Bapak Kapitan. Kami mendaki beberapa kilo meter ke puncak gunung. Bapak Kapitan laksana serdadu, menyandang bekang berisi perlengkapan dan perbekalan di punggung, senapan pemburu tergantung di bahu, parang tergantung di pinggang,  mata awas ke depan, dan dengan cekatan melintasi berbagai penghalang di depan. Di belakangnya, dengan napas terengah-engah saya mengekor, diam-diam berharap cepat mencapai puncak, atau paling kurang mencapai lereng dekat puncak. 


Akhirnya kami tiba di lereng. Angin sepoi menebus peluh, mengipas-ngipas badan yang gerah. Saya menjatuhkan pantat ke tanah kemudian menyedot air di botol minuman dengan rakus. Sekitar satu menit beristerahat, Bapak Kapitan memberi signal untuk melanjutkan perjalanan. Tenaga saya sudah agak pulih. Saya bangun, menggendong bekang, berangkat.

Beberapa meter dari tempat kami isterahat, Bapak Kapitan berhenti lalu menunjukkan kepada saya sekumpulan bunga yang memekar di depan kami.  Saya terpesona ketika menyadari apa yang ada di depan. Kantung semar. Itu kumpulan anggrek yang sangat indah. Anggrek semacam ini pernah saya lihat di gambar pada sebuah buku ensiklopedi tumbuhan. Kini  anggrek ini nyata memukau di depan mata. Anggrek sahabat saya. Saya terkagum dengan pemandangannya  yang natur. Jika di kota-kota besar mungkin orang harus merogoh kocek untuk membeli atau menyaksikan benda langkah ini, di sini, saya bebas memandang, menyentuh, membelai, mencumbu, bercengkrama dalam perasaan. Sayang sekali, saya tidak membawa kamera sehingga hanya bisa mengekalkan semua keindahan alam ini di dalam ingatan.

Kelak, beberapa tahun setelah pertemuan saya dengan anggrek ini, dari salah satu sumber bacaan[3] saya mengetahui bahwa kantung semar termasuk genus nephentes. Nephentes sendiri berasal dari bahasa Yunani, “ne” berarti “tidak” dan “panthos” berarti “kesedihan”. Nama yang menghibur ini berkaitan dengan obat nephente, salah satu obat yang digunakan pada masa Yunani Kuno untuk menyembuhkan  orang yang mengalami  kesedihan yang parah atau depresi.  Cocok sekali dengan namanya, keindahan anggrek ini dapat membuatmu terpesona sampai bisa melupakan kesedihan yang singgah di hati. Nepenthes termasuk genus tanaman karnivora monotypic, ditemukan di Cina Selatan, Indo-China, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Filipina.   Ada sekitar 117 spesies. Di Indonesia, keanekaragaman tertinggi terdapat di Kalimantan dan Sumatera. Di Kalimantan, ada 31 jenis Nepenthes, 15 jenis ditemukan di Sabah. Saya tidak tahu Nepenthes di Taman Paye Melau ini tergolong dalam spesies apa. Menurut Bapak Kapitan, anggrek ini  pernah diteliti oleh seorang ahli dan  ternyata ini adalah kantung semar terbesar  di Tanah Borneo.  

Beberapa tahun nanti, pun saya baru tahu kalau air dalam kantung  anggrek ini bisa diminum oleh manusia. Air yang bisa diminum terdapat dalam kantung semar yang masih tertutup. Air di kantung semar yang sudah terbuka biasanya telah tercemar jasad serangga. Seandainya saya tahu saat ini, bahwa kantung semar Paye Melau menyambut seorang lelaki Timor yang kelelahan dengan minuman dalam cangkirnya,  saya akan minum, membangun lagi sebuah momen sebagai piala perjumpaan kami. Setelah minum, mungkin kami akan ngobrol sejenak di teras gunung itu, berbagi kisah masing-masing, dan akhirnya kami akan nyanyikan lagu perpisahan sebelum saya melanjutkan perjalanan, meminjam larik puisi  “To Celia” karya Ben Jonson, penyair Inggris pada abad 17:  / Drink to me only with thine eyes/   And I will pledge with mine / Or leave a kiss but in the cup / And I’ll not look for wine/, sebab, kenangan yang kami simpan  akan selalu terasa cukup.

Hari mulai gelap. Bapak Kapitan mengajak saya meneruskan perjalanan. Saya memberitahu beliau  bahwa saya lupa membawa senter. Beliau mengerutkan keningnya. Diwajahnya terpampang rasa penyesalan atas keteledoran saya. Ini berarti perjalanan kami selanjutnya akan terhambat. Bagaimana kami dapat berburu hewan hutan di gelap malam jika saya tidak membawa senter?

Diterangi cahaya senter Bapak Kapitan, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini saya berjalan di depan beliau, namun bukan saya yang memimpin perjalanan. Saya buta arah kemana kami akan pergi. Cahaya senter yang menyeruak gelaplah sebagai kompas pada langkah kaki saya untuk terus melangkah. Di sekeliling kami pohon-pohon diselubungi gelap. Embun mulai turun di antara suara binatang malam yang mulai ramai. Seandainya ada hantu di sekitar kami, tentu dengan mudah mereka akan menangkap kami, membawa kami ke gua mereka dan memasukkan kami ke dalam ruang tahanan, menunggu waktu pembantaian, persis di dalam film-film horor. Mungkin mereka akan melahap kami seperti kantung semar, sahabatku, melahap serangga yang masuk ke perangkapnya. Wahai serangga yang malang, ternyata kita bernasib sama, iiihh, bulu kuduk saya merinding membayangkan semua itu.  

Kami tiba di puncak gunung. Ada sebuah pondok di situ. Pondok Paye Melau dibuat oleh warga lokasi Binuang untuk kepentingan bersama. Setiap orang yang berburu di area tersebut dapat beristerahat di pondok tersebut. Di dalam pondok tersedia beberapa alat masak.


Kami beristerahat sebentar kemudian menyalakan api. Saya mengeluarkan kaki yang pucat dari sepatu, mengarahkannya ke dekat api. Setelah beberapa saat berdiang, kami mengeluarkan bekal dari dalam bekang dan menimatinya. Selesai makan, Bapak Kapitan menghidangkan kopi hangat dari termos bawaannya. Sambil ngobrol, kami masing-masing ditemani rokok dan segelas kopi. Sangat nikmat dalam suasana seperti ini di tengah hutan. Terasa teduh.

Bapak Kapitan mengajak saya beristerahat. Malam itu kami tidak bisa berburu hewan karena saya tidak membawa senter. Dengan agak kecewa pada diri sendiri, saya mengambil hammock, mengikat kedua simpulnya pada dua tiang kemudian masuk ke dalam sarung buaian kesayangan itu.  Hening malam dihinggapi dayu lagu serangga hutan, pun tangis burung malam sesekali menjalarinya. Seekor burung menarik irama klasik tak jauh dari pondok kami, mengiring ingatan saya kepada lirik “The Sound of Silence” lagu yang ditulis Paul Simon pada tahun 1964 dan dinyanyikannya bersama Garfunkel. Beberapa terjemahan lirik lagu itu seakan dinyanyikan sang burung malam: /Halo kegelapan, teman lamaku / Aku datang untuk berbicara lagi denganmu/ Karena sebuah bayangan merangak perlahan/ Meninggalkan benih-benihnya ketika aku tertidur/ Dan bayangan yang telah tertanam di dalam otakku/ Masih tersisa/ Dalam suara keheningan/

***

Entah dari mana, tiba-tiba saja makhluk-makhluk itu sudah mengepung kami. Makhluk-makhluk berwajah mengerikan. Instingku berkata bahwa itu hantu-hantu. Kemungkinan besar mereka telah membuntuti kami selama di perjalanan tadi. Satu persatu mereka muncul dari kegelapan, mengintip-ngintip pondok kami  dan perlahan-lahan mendekati pintu pondok. Saya melihat Bapak Kapitan tertidur pulas dalam hammocknya. Beliau pasti tidak menyadari bahaya yang mengintai kami. Saya berusaha membangunkannya dari tidur namun tubuh saya kaku oleh ketakutan besar. Sekarang makhluk-makhluk itu berusaha menggeser pintu pondok. Ternyata pintu pondok kami  tidak dikunci sehingga mereka dengan mudah membukanya. Kini mereka telah berada di dalam pondok. Saya hendak memberontak tetapi badan saya tetap saja kaku, bahkan tenggorokan saya tersedak sehingga tidak bisa bersuara. Tiba-tiba saya merasa sentuhan dingin di badan saya. Salah satu makhluk  itu telah berdiri di samping saya. Matanya merah, mulutnya lebar, air liur meleleh di antara bibirnya, gigi-giginya rucing, kuku jari tangannya persis pisau. Ia tersenyum saat tatap mata kami bertemu. Senyuman yang sangat rakus itu perlahan-lahan didekatkan ke wajah saya. Hidungnya mengendus-endus. Gigi-giginya sudah berada di depan wajah saya, siap menerkam. Satu, dua, ti….  “Aaaaaaaa” Saya berteriak sekuat tenaga sambil merontah-rontah.


Saya merasa tubuh saya diguncang-guncang. Saya membuka mata, ternyata Bapak Kapitan sedang mengguncang-guncang tempat  tidur saya. Beliau membangunkan saya karena hari telah pagi. Di lantai, telah tersedia dua gelas kopi panas. Beliau membangunkan saya untuk sarapan. Perasaan lega menjalar di hati saya. Mimpi buruk itu telah berakhir.  Sambil menikmati kopi, kami menanak nasi. Saya menceritakan mimpi saya kepada beliau dan beliau menyambutnya dengan tawa. Di hutan ini tidak ada hantu, tanggap beliau.

Setelah makan dan mempersiapkan bekal, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini kami akan menyusuri hutan, mengarah ke Kampung Binuang, mencari hewan buruan. Embun pagi membuat sepatu kami basah dan licin sehingga kami harus lebih berhati-hati menuruni gunung. Di salah satu dataran hijau kami berhenti. Kami bersembunyi di semak-semak. Bapak Kapitan mengambil sejenis daun rumput dan meniupnya, menghasilkan bunyi seperti suara kijang. Kami berharap ada kijang yang tertipu dengan suara itu dan mendekat. Setengah jam kami menunggu, tidak ada kijang yang datang. Mungkin mereka berada jauh dari kami sehingga tidak mendengar suara samaran yang dibuat Bapak Kapitan, atau mungkin mereka telah belajar dari pengalaman, di mana badan statistik kesehatan kijang telah merilis data jumlah kijang yang mati karena tertipu jauh lebih besar dari pada jumlah kijang yang mati karena penyakit.

Kami melanjutkan perjalanan menuruni gunung. Udara segar yang disuplai dedaunan hijau membuat kami bersemangat. Tak terasa kami telah sampai ke kaki gunung. Tadi kami meninggalkan pondok sekitar pukul tujuh. Sekarang sudah pukul sebelas. Sepanjang waktu itu, sepanjang punggung gunung yang kami susuri, tidak seekor hewan buruan yang kami temui. Akhirnya kami mengambil beberapa jenis sayuran yang tumbuh di sekitar kaki gunung dan pulang ke rumah.

Keteledoran saya saat berburu itu akhirnya menjadi bahan candaan orang-orang sekampung kepada saya dalam beberapa hari. Mereka berkata bahwa saya tidak menjumpai seekorpun kijang karena dua hal: pertama, saya lupa membawa senter sehingga saya kegelapan (karena kulit saya berwarna coklat dibanding kulit sawo matang mereka), kedua,  kijang-kijang pun kegelapan karena tidak punya senter.  Jadi, bagaimana bisa bertemu jika diliputi kegelapan?  Saya pun tidak mampu menahan tawa mendengar candaan itu.       

Kupang, Juni 2020 cq  Binuang 2012


Jek Atapada

[1] Bakul yang terbuat dari anyaman rotan dengan dasar berupa papan, bertali, digunakan masyarakat suku Dayak Lundaye untuk membawa sesuatu dengan cara digendong di punggung.

[2] Tempat tidur dari kain, di kedua ujungnya terdapat tali  pengikat y untuk menggantung tempat tidur ini sehingga orang yang menggunakannya dapat berayun seperti dalam buaian.

[3] https://www.tnsebangau.com/kantong-semar-si-cantik-yang-rakus/

*****

Baca juga:

4 Komentar

Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar

  1. mantap kaka jek .. kangen krayan jd nya .. salam dr medan .. saya angkat 5 sm3t yg juga bertugas d binuang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam Kenal, Pak Guru. Saya lagi coba buat tulisan2 kenangan ttg binuang. Semoga tulisan berikutnya cpt kelar dan terbit.

      Hapus
    2. semangat kakak jek / pak guru 😊

      Hapus
  2. Mantaplah...bibi juga masih ingat tas punggung itu namanya"Anjat" ingat kala KKN di daerah pedalaman Tarakan. Ditunggu narasi selanjutnya😄 Happy Sunday.

    BalasHapus

Posting Komentar

Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar

Lebih baru Lebih lama